Kita tak paham logika dan kepekaan pengambil keputusan perihal rencana kenaikan tarif KRL Commuterline. Bagi masyarakat awam, rencana kenaikan ini bisa disimpulkan dalam sebuah kalimat: Kalau bisa naik kenapa tidak? Sederajat kelasnya dengan kalimat, “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.”
Pemerintah berencana menaikkan tarif commuterline yang, kabarnya, akan diberlakukan mulai April 2022. Ancang-ancang kenaikan digulirkan pekan lalu –tentu sembari menunggu reaksi masyarakat. Kelak, tiket akan naik naik dari yang biasa Rp 3.000 menjad Rp 5.000. Kelak, tarif pada 25 km pertama sebesar Rp 2.000 dan setiap 10 km naik Rp 1.000.
Terkesan kecil dan tak memberatkan kantong. Terkesan, wajar saja naik karena selama ini tiket sudah murah. Pihak Kementerian Perhubungan menyebut alasan lain, yakni sejak 2016 belum ada kenaikan. Pada alasan ini publik –kita diminta untuk “memaklumi,” mengganggukkan kepala.
Mari kita sejenak berpikir perihal kereta api: transportasi publik yang kini menjadi andalan masyarakat dan digembar-gemborkan oleh Pemerintah akan terintregrasi dengan moda angkutan lain dan sekaligus mengurangi tranportasi kendaraan (mobil dan bus) yang menimbulkan polusi, kebisingan, sekaligus kemacetan.
Mari kita berpikir di tengah pandemi, di tengah banyaknya PHK, di tengah ekonomi yang porak poranda, masyarakat justru membutuhkan transportasi murah yang cepat dan aman. Kewajiban Pemerintah seperti diatur dalam UUD 1945 menyedikan sarana untuk kesejahteraan rakyat.
Kita tidak heran jika kenaikan ini memicu keluhan dan kekwatiran para pengguna kereta, mereka yang mungkin penghasilannya paspasan atau bahkan kini tengah kesana kemari mencari kerja. Bayangkan jika selama ini cukup dengan Rp 6.000 ke tempat kerja, kini Rp 10.000 dan jika pulang pergi berarti sekitar Rp 20.000. Jika sepekan? Sebulan?
Kementerian Perhubungan, melalui Kasubdit Penataan dan Pengembangan Jaringan Direktorat Lalu Lintas dan Kereta Api Ditjen Perkeretaapian, Arif Anwar menyebut, rekomendasi usulan kenaikan tarif merupakan hasil kajian Ability to Pay (Kemampuan Membayar) serta Willingnes to Pay (Kesediaan pengguna untuk membayar) pada pengguna kereta api perkotaan.
Tentu kita tak akan berdebat dengan argumentasi “ilmiah” itu. Persoalannya bukan pada “kajian” itu, tapi pada kepekaan dan kesadaran akan fungsi kereta dan pelayanan untuk masyarakat. Perusahaan kereta api, sebagai transportasi publik, tentu bukan jenis usaha yang harus digenjot untuk mendapat untung sebanyak-banyaknya.
Cara pasang iklan di kereta: Cara pasang iklan di Kereta Commuterline
Cara menulis opini: Cara Menulis Opini yang Baik
Menyediakan transportasi murah, bersih, dan aman adalah kewajiban pemerintah dan amanat konstitusi. Jadi, alasan “karena sejak 2016 tiket kereta commuterlne tidak naik” adalah alasan kapitalistik. Justru Pemerintah –pihak Kementerian Perhubungan- baru hebat jika bisa menurunkan tarif sekarang lebih rendah lagi- itulah esensi “Negara untuk kesejahteraan rakyat.” [commuterline.com]