Pemblokadean kereta api Argo Dwipangga di Stasiun Bekasi mencerminkan amburadulnya manajemen perjalanan perkeretaapian di Indonesia. Kamis pekan lalu, kereta api jurusan Solo ini hampir empat jam disandera penumpang Commuter Line.
Mereka memprotes keterlambatan kereta Jabodetabek yang berulang kali terjadi.
Terlalu seringnya keterlambatan itu terjadi lantaran jalur Bekasi-Jakarta sangat padat pada pagi dan sore hari. Berbeda dengan jalur Jakarta-Bogor, kereta api jarak jauh bersaling-silang dengan Commuter Line melewati jalur Bekasi-Jakarta. Dalam posisi seperti itu, kereta Jabodetabek sering dikalahkan. Kondisi itulah yang membuat penumpang kesal.
Kekesalan penumpang Commuter Line ini bisa dipahami karena PT Kereta Api Indonesia dan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) sepertinya tak mampu menyelesaikan masalah itu. Padahal manajemen perjalanan kereta jarak jauh dan kereta Jabodetabek berada di satu tangan. Ditambah berbagai masalah teknis, seperti pantograf atau sinyal rusak, lengkap sudah penderitaan penumpang Jabodetabek.
Harus diakui, banyak hal positif sudah dilakukan manajemen KAI. Jumlah perjalanan Commuter Line terus ditambah. Pada April tahun lalu, misalnya, jumlah perjalanan meningkat dari 514 menjadi 575 per hari. Kenyamanan juga lebih baik setelah stasiun steril dari pedang kaki lima. Seluruh kereta kini berpenyejuk udara dengan tarif sangat murah.
Sayangnya, ketepatan dan keamanan perjalanan masih menjadi kelemahan manajemen PT KAI dan anak perusahaannya, KCJ. Kejadian di Bekasi bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, penumpang Commuter beberapa kali menduduki rel karena kereta terlambat melewati batas. Penumpang kesal karena mereka dirugikan tanpa kompensasi apa pun.
Pemerintah memang sudah merancang jalur ganda-berganda (double double track) Manggarai-Bekasi untuk mengatasi masalah itu. Namun, sebagaimana proyek infrastruktur yang lain, pembangunan jalur ini juga sangat lambat. Sampai saat ini, proses pembebasan lahan untuk proyek dengan investasi Rp 8,5 triliun ini masih belum selesai.
Meski demikian, tidak berarti perbaikan manajemen perjalanan ini harus menunggu selesainya proyek tersebut. Tidak bisa tidak, pemimpin perusahaan pelat merah ini mesti memprioritaskan perbaikan manajemen perjalanan agar kejadian di Bekasi tidak terulang. Pada perusahaan sejenis di mana pun, ketepatan perjalanan, keamanan, dan kenyamanan merupakan tiga standar yang harus dipenuhi.
Perbaikan itu harus tuntas. Yang selama ini sering terjadi, perbaikan hanya dilakukan jika ada unjuk rasa yang “keras”. Seperti yang terjadi dalam tiga hari terakhir. Setelah blokade itu, perjalanan kereta tepat waktu. Tapi tak ada yang bisa menjamin apakah kondisi seperti saat ini akan bertahan dalam jangka panjang. Bukan tidak mungkin keterlambatan serupa akan kembali terjadi.
Penumpang juga tak bisa seenaknya memblokade rel kereta. Blokade tidak hanya merugikan PT KAI, melainkan juga penumpang Argo Dwipangga. Polisi sebaiknya mengusut tuntas tindakan anarkistis ini. Apa pun alasannya, tindakan mereka tidak bisa dibenarkan. (Tempo)