Info Terbaru
Perang PT KAI vs Bongkaran (1 dari 2 tulisan)
?????????????

Perang PT KAI vs Bongkaran (1 dari 2 tulisan)

Sejak pekan lalu, puluhan aparat keamanan membongkar pemukiman liar di dekat Stasiun Tanahabang yang  terkenal dengan nama “Bongkaran-Tanah Abang.” Inilah Bongkaran.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan daerah rel di dekat Stasiun Tanahabang bernama Bongkaran itu menjadi daerah prostitusi. Menurut Bang Ucup, 70 tahun, seorang tokoh Tanahabang, sejak dia kecil pun daerah itu sudah bernama Bongkaran dan merupakan daerah prostitusi. Dia menduga nama Bongkaran diambil karena di stasiun Tanahabang kerap datang kereta barang dan terjadi kegiatan bongkar membongkar barang yang rame.

Wilayah Bongkaran sendiri adalah wilayah prostitusi kelas teri. Di sepanjang rel, juga meluber ke sejumlah jalan dan jembatan penyeberangan, jika malam mangkal puluhan pelacur kelas teri. Di Bongkaran rel kereta sendiri puluhan perempuan, dengan dandanan menor, sejak pukul 19.00 sudah mulai terlihat. Semakin malam, jika kereta sudah tak lagi lalu lalang, sepanjang rel itu berubah menjadi “pasar malam syahwat.” Lampu warna warna kerlap kerlip mengikuti dentuman musik dangdut. Minuman, aneka minuman keras, bisa didapat di tempat ini. Tentu yang paling murah antara lain bir.

Bongkaran menjadi daerah pelacuran klas teri karena tarif perempuan di sana pun tak lebih dari Rp 150.000. “Bahkan banyak yang hanya Rp 50 ribu,” ujar seorang warga Tanahabang. Para lelaki hidung belakang dari kelas ekonomi bawah menggunakan gubuh-gubuk tripek yang luasnya hanya seukuran ranjang untuk membawa perempuan yang diinginkan. Di gubuk itu selain ranjang yang dibuat dari kayu sekenanya, ada kasus tipis dan seember air. Itulah fasilitasnya.

Bekas warung Bongkaran/Commuterline.com

Dulu, sebelum memakai gubuk, di atas rel para germo membuat bangunan yang diberi roda dan bisa ditarik-tarik. Bangunan dari triplek itulah yang dijadikan “rumah mesum.” “Kalau siang, ditarik dan disembunyikan di belakang bangunan liar,” ujar seorang warga Tanahabang yang mengaku sejak kecil sudah kerap bermain di daerah mesum itu.

Laiknya daerah lampu merah, di sini pun dijual berbagai benda untuk kegiatan seksual itu. Kondom, pil kuat, Viagra dll. Harganya termasuk mahal. Kondom misalnya Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu.  Menurut seorang pria yang mengaku pernah ke daerah itu, nyaris tak ada pria yang sudi memakai kondom. “Bisa dihitung saya kira, karena mereka ini kan dari golongan ekonomi lemah, uang untuk main saja pasti pas-pasan,” katanya sembari tertawa.

Tapi perputaran uang di Bongkaran tentu saja tidak sedikit. Belasan warung remang-remang itu setiap malam menangguk uang hingga belasan juta rupiah dari menjual minuman dan makanan. Judi juga bergulir di sini. Para sopir truk, kernet, kuli bangunan, preman, pemuda pengangguran menggunakan Bongkaran sebagai tempat hiburan mereka. Secara resmi Bongkaran beroperasi sejak pukul tujuh malam hingga sekitar pukul dua pagi. Tapi, saat bulan puasa, biasanya mulai beroperasi setelah tarawih. “Bulan puasa tetap buka, para pelacur butuh duit juga untuk lebaran,” kata pria yang diajak Commuterline berbincang-bincang itu.

Dengan perputaran uang seperti itu pula, maka daerah ini juga menjadi ajang rebutan kekuasaan para preman. Hercules, juga pernah menguasai dan masuk di wilayah ini.  Adanya beking-beking ini yang menyebabkan penggusuran daerah Bongkaran rel yang lahannya milik PT KAI ini seperti “menggarami laut.” Digusur sepekan, esok harinya gubuk-gubuk itu sudah berdiri lagi. Para pelacur sudah berdatangan lagi.

Menurut seorang warga, Kurdu, sebelum ada kereta Commuterline, para pelacur atau para hidung belang sangat gampang mencapai Bongkaran. “Naik kereta KRL tidak bayar, turun di tanahabang atau kalau nekad, lompat saja pas di dekat Bongkaran,” kata Kurdu. Dengan lokasi dekat Stasiun Tanah Abang, KRL memang cenderung pelan jika melewati Bongkaran. Masinis juga melambatkan keretanya karena khawatir ada orang yang duduk di rel tertabrak atau –ini juga yang ditakutkan- dilempari batu oleh para preman Bongkaran.

Para pelacur memang tak hanya tinggal dan kos di daerah Tanahabang.  Banyak yang tinggal di Pondok Ranji, daerah Serpong dll. Mereka menggunakan KRL murah meriah jika akan “bertugas” ke Bongkaran.

Kini Bongkaran, untuk kesekian kalinya, digusur. Akankah ini akhir sejarah Bongkaran atau tidak tergantung dari PT KAI. Jika setelah pembongkaran itu mereka bisa cepat menutup akses siapa pun masuk ke lahan mereka, penggusuran akan berhasil. Jika tidak maka sejarah berulang. Bangunan liar akan tumbuh lagi. Pelacur-pelacur akan muncul dan mengais rejeki lagi. Dan pemandangan kumuh akan terhampar kembali di sepanjang rel itu. (Cut)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*